
MINAHASA TENGGARA, PENA JURNALIS INDONESIA.COM (PJI.COM) Link: penajurnalisindonesia.com-
Berdasarkan Pantauan Media di Lokasi Tanah Sengketa Tumalinting Ratatotok Satu, Wilayah kecamatan Ratatotok, kabupaten Minahasa Tenggara, terpantau masih ada aktivitas kerja yang dilakukan secara “masif”.
Aktivitas PETI terpantau giat lakukan pemasangan tenda, dan tahapan pengolahan emas, serta perendaman material yang mengandung butiran emas.
Target Investigasi Media untuk mewawancarai oknum pelaku aktivitas ilegal PETI berinisial “YL dan SM”, selaku Penanggungjawab.
Namun, target untuk menemui kedua oknum tersebut tidak berhasil, diduga kedua oknum tersebut “menghindar”, mereka memantau dari tempat kejauhan, sehingga tidak bisa di temui oleh awak Media.
Di Lokasi “Konflik” ilegal PETI tersebut, terpantau giat pekerja.
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan.
“Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat.” Kata Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Batubara (ESDM) Sunindyo Suryo Herdadi, di kutip dari laman Kementerian ESDM, Selasa (12/7).
Pelaku ilegal PETI terancam dapat di jerat dengan pasal 158, dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100 miliar.
Termasuk juga, setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Beberapa sumber informasi masyarakat yang diterima Tim investigasi Media meminta aparatur penegak hukum untuk menindak tegas oknum pelaku PETI.
Oknum “YL.Cs” tidak tunduk dan patuh pada regulasi hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, kewajiban mereka terhadap masyarakat dan Pemerintah diabaikan. Tegas, sumber informasi.
Harapan kami agar aparatur penegak hukum jangan sampai “masuk angin”. (****)
Penulis: Max Nicolaas Sumlang.
Editor: Fenly Sigar.